Senin, 22 Maret 2010

Shinta Pembantu yang Aduhai

Saat terjaga dari tidur nyenyakku kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh kakiku.

"Denny bangun, sudah sore. Mandi dulu. Ayo, bangun"

Sontak aku terbangun kaget. Ternyata Shinta berdiri di ujung tempat tidur sedang mengguncang-guncang kakiku. Aku meliukkan badan, dan mataku terpejam lagi.

"Heeeh...haayoo bangun. Mandi dulu", ganggu Shinta sambil kembali mengguncangkan kakiku. Aku membalikkan badan. Enak sekali tidurku. Rasanya masih ingin tidur lagi. Kulirik jam dinding menunjuk pukul 4 sore lebih.

"Bu Nina sudah pulang, Ta?", tanyaku. Shinta menggeleng, dan kembali memintaku mandi. Oh ya, umurku waktu itu masih 12 tahun, masih kelas 6 SD. Shinta adalah salah satu pembantu kami. Umurnya sekitar 30 tahun. Dia sudah lama ikut kami. Dia satu dari tiga pembantu kami. Shinta senantiasa bertugas melayani keperluanku dan keperluan Bu Nina. Mulai dari mempersiapkan keperluan mandi, makan, apa saja. Karena itu aku lebih dekat dengan Shinta daripada dengan Mbah Karso atau Yu Parmi.

"Bu Nina kok belum pulang to, Ta?", tanyaku ke Shinta yang tengah duduk di tepi ranjang seraya menatapku.

"Mungkin sampai malam. Kan sudah kutakan tadi pagi ke Praci"

Bu Nina adalah pedagang hasil bumi. Selain menerima setoran hasil bumi dari para petani, seringkali Bu Nina hunting dagangan sampai ke kota-kota kecamatan. Sesekali aku diajak oleh Bu Nina.

"Ayo mandi dulu, Den", bujuk Shinta. Aku pun beranjak. Shinta mengangsurkan handuk, dan aku menuju kamar mandi. Shinta mengikutiku dari belakang.


"Kok sepi?", tanyaku.

"Mbah Karso sama Parmi lagi nagih", jawabnya ketus.

Mbah Karso dan Yu Parmi adalah dua pembantu kami lainnya. Beberapa pengrajin tempe dan tahu seringkali ambil kedelai dari Bu Nina, dan bayarnya beberapa hari kemudian. Para pembantu kami seringkali yang disuruh menagih.

Selesai mandi, ini yang tak aku sangka-sangka, Shinta menggodaku dengan bertanya apa aku kangen sama Ibu. Ibu yang dimaksud perempuan itu adalah Bu Nina. Pertanyaan Shinta bernada menyelidik, sedikit meledek. Dia tersenyum penuh arti. Aku menyambar koran, dan duduk di bangku teras. Aku paling sedang komik serial Tarzan. Biasanya sore begini aku membaca bersama Bu Nina. Nyatanya sekarang Shinta yang menemani di sebelahku.

"Ayo cerita dong Den", katanya.

"Cerita apa?"

Cerita Denny sama Ibu. Shinta tahu kok Gus. Mbah Karso, Parmi juga tahu. Tapi tenang saja, rahasianya aman. Aku terperanjat. Aku benar-benar mati kutu. Rupanya perzinaanku dengan Bu Nina sudah diketahui ketiga pembantuku.

"Kalau sudah tahu ya sudah. Napa suruh cerita", sahutku agak kesal.

"Pengin denger saja. Sudah pinter ya, Den?, seloroh Shinta sambil tersenyum.

"Apaan sih?", ujarku sambil terus menatap koran, tapi pikiranku agak kacau.

"Ehh, tapi jangan bilang ke Ibu yaa kalau kami sudah tahu. Aku diam saja. Bener lho jangan bilang". Tidak lama berlangsung Shinta pergi.

Malamnya, aku belajar ditunggui Shinta. Dari dulu memang begitu. Kalau Bu Nina kecapekan dan tak bisa menunggui belajar, disuruhnya Shinta menungguiku. Waktu kelas satu sampai kelas dua SD perempuan itu malah kerap membantuku mengerjakan PR atau membantuku membetulkan cara membaca. Tetapi setelah kelas enam, dia mulai tidak bisa mengikuti pelajaranku. Maklum, dia cuma sekolah sampai kelas empat SD. Sekitar jam 9 aku mulai ngantuk dan menyudahi belajar. Shinta membantu mengemasi buku-bukuku. Aku pun beranjak ke kamar.

"Mau ditemani bobo ndak, Den?", tiba-tiba Shinta bertanya. Dulu waktu masih umur 7-8 tahun aku sering tidur dikeloni Shinta atau Bu Nina. Tapi semenjak kelas lima, aku sudah tidur di kamar sendiri. Entah kenapa, rasanya pengin juga seperti dulu, tidur ditemani Shinta. Beda dengan Bu Nina, Shinta kalau ngeloni suka sabar. Sering mendongeng sambil mengusap-usap penggungku, dan aku memainkan ujung sikunya. Sampai tertidur.
Aku merebahkan tubuh di ranjang. Shinta juga rebahan di sebelahku. Kami tidur satu bantal karena memang hanya ada satu bantal di tempat tidurku. Aroma perempuan ini belum berubah. Rambutnya berbau minyak cem-ceman. Minyak ini terbuat dari minyak kelapa dicampur daun pandan dan rempah-rempah lain. Dia mengenakan kemeja lengan pendek, dan jarik yang digulung sebatas pusar. Semua pembantuku kesehariannya ya begitu. Jariknya sedikit di bawah lutut. Shinta meraih tubuhku, dan mengelus-elus punggungku.

"Sudah lama ya, Den, ndak bobo sama Shinta. Wajahku hanya beberapa inci dari wajahnya. Terasa lembut nafasnya. Bau nafasnya gurih. Rasanya amat menenteramkan. Aku diam sembari memejamkan mata. Oh, ya, aku di rumah biasa disapa Gus sebagai panggilan akrabku.

"Berapa kali gituan sama Ibu?", sebuah pertanyaan yang menyentakkanku, menghilangkan kantuk.
"Ndak pa-pa cerita sama Shinta", pintanya lagi sambil menunggu reaksiku. Tangannya masih mengelus-elus punggungku.
"Sudah ndak kehitung ya? Ati-ati ya Gus, nanti kayak Gus Bambang, ketahuan terus diusir. Semua kena malu"

"Memangnya Mas Bambang juga gituan sama Bu Nina?", tanyaku ingin tahu. Aku memang mendengar selentingan kasus itu. Tapi karena umurku yang belum cukup mampu mencerna pembicaraan orang, aku tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Iya. Dasarnya Gus Bambang ndak bisa menjaga rahasia, jadi yaa rahasianya kesebar". Lalu Shinta bercerita panjang lebar tentang skandal Bu Nina dengan Mas Bambang, sepupuku yang berarti juga masih keponakan Bu Nina. Shinta juga bercerita bagaimana Mas Bambang pun pernah meniduri Shinta dan Mbah Karso.

"Shinta kok mau?"

"Yaa ndak berani nolak to Gus", jawabnya.

"Berapa kali, Ta?"

"Ahh...banyak"
Lalu Shinta memintaku bercerita tentang perzinaanku dengan Bu Nina. Shinta mencubit hidungku, membuat kontolku jadi menegang.
"Pertamanya dipaksa ya?"

"He-eh", sahutku.
Shinta tertawa kecil menggoda.
"Lama-lama Gus yang minta?"

"Ndak. Ndak berani to Ta"

"Disuruh cium-cium anunya Ibu juga?"

"Ihhh......kok Shinta nanyanya kayak gitu"

Dulu Gus Bambang suka cerita kok. Aku heran, kok Mas Bambang bisa cerita ke Shinta. Pantesan affairnya dengan Bu Lik terbongkar dan menggegerkan keluarga besar Bu Nina.

"Gus ketagihan ndak? Kalau pas pengin gimana? Kan ndak berani minta ke Ibu?"

"Ya diem. Ditahan". Shinta terkikih.

"Minta sama Shinta to, kayak Gus Bambang"

"Idiih.....", seringaiku. Shinta tertawa kecil.

"Sekarang lagi pengin ndak?". Aku diam tak menjawab. Kalimat itu membuatku tergetar.

"Shinta mau kok Gus". Tiba-tiba kurasakan elusan Shinta terasa aneh. Membuat bulu-bulu di tubuhku meremang. Darahku berdesir. Dan tak kuduga, Shinta mencium bibirku. Lembut. Lidahnya menerobos ke dalam mulutku, mencari-cari. Dihisapnya bibirku, dicarinya lidahku. Kami berpagutan. Tangan Shinta berpindah ke perutku, mengusap, meremas, dan menerobos masuk ke celana.

"Sama Shinta ya, Gus?". Tanpa menjawab aku membuka kancing baju Shinta, dan mengeluarkan sepasang tetek dari dalam kutangnya. Aku menghisapnya, memilin dan menggigitnya. Shinta mendesah-desah. Tangannya meremas penisku. Disingkapnya jariknya hingga menampakkan paha yang padat dan mulus. Dia lepas CD-nya, dan meraih tanganku, dibawanya ke selangkangan. Lalu dilepasnya celanaku. Terasa penisku masuk ke dalam mulut hingga terdengar bunyi yang menggairahkan.
"Crop.....cropp"

Shinta memutar tubuhnya, mengarahkan vaginanya tepat di depan mulutku. Lalu ditekannya pinggul, hingga vagina itu menempel di mulutku. Refleks lidahku terjulur. Shinta mengerang keras. Di tekan lagi, dan digoyangkannya pantat bulat itu. Aku coba menghindar karena nafasku jadi sesak. Tapi Shinta kembali menekan sambi terus melumat penisku dengan rakus. Perempuan itu adalah janda yang sudah lama cerai dari suaminya. Mungkin dia memang sangat butuh sentuhan seperti halnya Bu Nina. Bedanya, Bu Nina bisa melampiaskan ke aku atau Mas Bambang, dan mungkin ke lelaki lain. Sedangkan Shinta, mana bisa. Kini di hadapannya ada aku. Lelaki kencur tapi sudah mahir bersenggama. Pokoknya kami kayak Cerita Panas Dewasa yang ada di internet.

Shinta mengangkat pantatnya, dan Gus digigit itilnya. Aku menggigit lembut itil itu. Aromanya memang tidak sewangi vagina Bu Nina. Tapi sangat terasa lubangnya masih sempit. Vagina yang belum pernah mengeluarkan bayi. Shinta kembali mengerang. Penisku disedot kuat-kuat. Aku lap vaginanya yang basah lendir bencampur ludahku dengan ujung jariknya, lalu kujilat-jilat lagi. Nafsuku sudah sampai di ubun-ubun. Shinta membalikkan badan. Dipegangnya penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Samar-samar aku lihat wajahnya meringis seperti menahan sakit. Dia berhenti sejenak, lalu mencoba menekan vaginanya. Ujung penisku mulai masuk. Dia kembali mendorong sehingga seluruh penisku masuk. Aku tidak tahu kenapa vagina Shinta begitu sempitnya, sampai-sampai penisku yang sebenarnya tidak besar pun sulit masuk. Maklum umurku masih 12 tahun, dan belum disunat. Begitu seluruh penis tenggelam dalam vaginanya, Shinta menggereng. Seperti suara kereta api. Dia mencengkeram lenganku. Ditekannya tubuhnya seolah ingin menelan habis tubuhku. Digoyang-goyang tubuhnya.

Ahh Shinta memang tidak semahir Bu Nina. Ketika dengan Bu Nina, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sehingga cepat sekali keluar. Goyangannya kayak film xxx. Seringkali ketika ronde kedua baru Bu Nina mencapai puncaknya. Kini Shinta sepertinya sudah sampai di puncak, sedangkan aku belum apa-apa. Perempuan itu lemas di atas tubuhku.
"Gus, belum keluar?"

"Belum...!"

Dia membalikkan badan, telentang, dan memintaku menaiki tubuhnya. Pelan-pelan ya? katanya sambil mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Aku menekan penisku. Shinta merintih menahan sakit. Dia memintaku pelan-pelan. Belakangan baru aku tahu, rasa sakit itu dikarenakan dia sudah lama tidak gituan, sehingga lubang vaginanya seperti menyempit.

Ketika seluruh penisku berada dalam cengkeraman vaginanya, akupun mulai memompa. Mula-mula dia terlihat pasif. Tetapi lama-lama kurasakan dia kembali terangsang dan mengimbangiku. Keringatnya bercucuran, menimbulkan aroma yang menyengat. Dalam kondisi normal mungkin aku muak dengan bau itu. Tetapi di tengah nafsu yang menjeratku, aku sangat menikmati aroma itu. Bahkan kemudian kuangkat tangannya sehingga nampak sepasang ketiak yang ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Aromanya benar-benar menyengat tajam. Aku benamkan wajahku ke ketiak itu. Dia menggelinjang menerima jilatanku. Aku terus menggenjot dengan hebat.

"Ohhh..................Shinta, Aku ndak tahan lagi". Beberapa saat kemudian aku mengejang. Aku tarik keluar penisku, aku tempelkan di perutnya, dan aku tekan dengan kuat, merasakan semprotkan maniku.
"Creettt................crettt...............!"

Aku dipeluknya dengan erat, dan diciumnya wajahku, bibirku, kupingku. Aku jatuh telentang di sebelahnya. Tanpa kuduga, dia hampiri penisku, dan dihisap-hisapnya sisa-sisa maniku. Juga sebagian yang ada di perutnya.

Malam itu aku tertidur pulas. Aku terbangun oleh suara Bu Nina, memintaku segera mandi. Sekilas kulihat wajah Bu Nina menegang. Mungkin kecapekan dari bepergian. Tetapi memang ada yang ganjil. Suaranya amat berat. Dia seperti menghardikku.

Pulang sekolah barulah semuanya terjawab. Shinta menyeretku dengan wajah tegang. "Jangan cerita ke Ibu bahwa Gus sama Yu Nem gituan", katanya. Perempuan itu bercerita bahwa pagi tadi dia dipanggil Bu Nina, diinterograsi. Ditanya kenapa Shinta tidur di kamarku. Mula-mula Shinta mengelak. Tapi Bu Nina bilang, bantalku beraroma minyam cem-ceman. Satu-satunya yang dituduh adalah Shinta karena dia yang paling dekat denganku. Akhirnya Shinta mengaku bahwa dia memang tidur di kamarku karena aku yang minta ditemani. Tidur biasa, tidak ngapa-ngapain.

Aku sendiri merasa sangat takut. Takut gagal membohongi Bu Nina. Malamnya, di kamarku Bu Nina menanyaiku. Karung bantal sudah tak beraroma cem-ceman lagi. Sudah diganti.

"Kenapa Shinta tidur di sini tadi malam?", tanya Bu Nina.

"Saya takut Bu Nina. Sepi sekali tadi malam ndak ada Bu Nina", jawabku berbohong dengan kecemasan yang seakan hendak membunuhku.

"Ndak boleh. Gus ndak boleh tidur dengan pembantu. Ngerti ?!". Aku mengangguk.

"Gituan sama Shinta ya?", tanyanya. Aku memang sudah menduga akan ditanya begitu. Tapi tetap saja aku amat takut, berdebar-debar. Ngeri.

"Ndak kok Bu Nina. Saya ndak mau to!"

"Sumpah?"

"Iya, sumpah Bu Nina". Perempuan itu menarik nafas, lalu mencium pipiku. Bu Nina ndak mau kamu gituan sama perempuan lain. Sama Bu Nina saja. Dia memagut bibirku. Malam itu aku disetubuhi Bu Nina.

Sejak peristiwa dengan Shinta, aku memang sangat ingin mengulangi. Kesempatan kecil selalu kami gunakan. Kadang-kadang di dalam kamar Shinta di tengah malam buta. Tapi seringnya di gudang, di antara tumpukan karung-karung palawija, dalam kegelapan. Setelah selesai, kami menyelinap keluar, persis maling.***

4 komentar:

  1. haah!!! 12th????? itu crita bneran yak?!

    BalasHapus
  2. Butuh Bandar Online terpercaya ?
    Yuk join aja menjadi member Di TogelPelangi

    Menyediakan permainan ;
    Togel
    Live dd48red blue

    serta memberikan prediksi terakurat

    DISKON Pemasangan :
    4D ; 66%
    3D : 59%
    2D : 29%

    Support 4 Bank terbaik :
    BCA
    MANDIRI
    BNI
    BRI

    Hot Promosi Jackpot Super Lucky
    Promo New Member
    Komisi Referal 1%

    Daftar sekarang bos : www.togelpelangi.com/daftar

    Info dan contact :

    BBM D8E23B5C
    LINE togelpelangi
    No telp.dan W.a +85581569708

    Silahkan bos



    BalasHapus